Breaking News

Mahasiswa angkat suara Saat Pangkal Pinang Banjir, Para Tokoh Sibuk promosi Pilkada Ulang (Opini)Oleh : Muhammad Hafiz Zikri (Wakil Presma Universitas Pertiba)


Di tengah gegap gempita para tokoh politik yang sibuk menebar senyum dan janji di panggung kampanye pilkada ulang, Muhammad hafiz zikri wakil BEM universitas pertiba justru mengangkat suara atas sebuah realitas yang jauh lebih mendesak: banjir yang kembali melanda Pangkal Pinang hari ini. Ironis memang, ketika masyarakat bergelut dengan genangan air, mereka yang bercita-cita menjadi pemimpin daerah justru lebih sibuk memoles citra ketimbang menunjukkan empati nyata.

Seolah telah kehilangan arah, panggung politik lokal hari ini berubah menjadi ajang pencitraan yang gencar namun hampa. Baliho bertebaran di sudut kota dengan janji perubahan, namun tak satu pun kaki para kandidat menginjak lumpur tempat tinggal warga terkena banjir, Warga menjerit meminta pertolongan, sementara para calon pemimpin justru sibuk merebut panggung, mengatur dan merancang strategi kemenangan seolah tak terjadi apa-apa.

Kritik dari mahasiswa bukan semata soal ketidakhadiran fisik para kandidat di lokasi bencana, tapi tentang hilangnya sensitivitas sosial dan moralitas publik di saat masyarakat butuh kepastian dan tindakan cepat. Kampanye yang sejatinya menjadi wadah menawarkan solusi atas persoalan rakyat, justru terkesan menjauh dari realita yang terjadi hari ini. Ini bukan sekadar soal banjir, ini soal bagaimana para calon pemimpin merespons situasi darurat yang menguji keberpihakan dan kepekaan mereka terhadap penderitaan rakyat.

Apakah seorang pemimpin masih layak disebut pemimpin jika saat rakyatnya terdampak bencana, ia malah sibuk mencari panggung? Apakah jabatan lebih penting dari keselamatan warganya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menggema dari lisan dan hati mahasiswa, yang menolak tunduk pada logika kekuasaan yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan.

Sudah seharusnya, di tengah bencana seperti ini, para tokoh menunjukkan kepedulian yang konkret, bukan hanya menyebarkan baliho atau membagikan visi di media sosial. Sayangnya, yang ditunjukkan hari ini justru ketidakpekaan akut. Simpati yang seharusnya menjadi respons dasar terhadap derita rakyat malah tergantikan oleh konten kampanye yang terus mengalir—ironis, karena air banjir pun mengalir lebih cepat dari respon para calon pemimpin itu sendiri.

Muhammad hafiz zikri mengatakan bahwa hari ini menagih akuntabilitas dan kemanusiaan dari para tokoh yang hendak duduk di kursi kekuasaan. Kami bertanya: di mana kalian saat rakyat lagi kesusahan? Di mana janji kalian akan turun  saat  rakyat lagi tidak baik baik saja? Dan lebih penting lagi, di mana hati kalian saat derita nyata tak mampu mengusik langkah kaki untuk sekadar hadir?

Karena bagi mahasiswa, politik bukan hanya soal perebutan suara, tapi tentang keberpihakan kepada rakyat—terutama saat rakyat sedang susah. Kekuasaan yang hanya aktif saat pemilihan, dan pasif saat rakyat kesusahan, adalah kekuasaan yang pantas dikritik keras dan ditolak. Kami tidak butuh pemimpin yang jago bersuara di podium, tapi bisu saat genangan air mulai menyapu halaman rumah warga.

Banjir hari ini bukan hanya musibah alam, tapi juga cermin ketelanjangan moral sebagian elit politik. Sementara warga berusaha menyelamatkan hidupnya dari genangan, sebagian tokoh malah berlomba menyelamatkan elektabilitasnya dari penurunan. Sungguh tragis, ketika rakyat sedang basah kuyup oleh air dan air mata, para calon pemimpin justru kering dari empati.

Narasi ini bukan hanya seruan kritik, tapi juga bentuk perlawanan moral dari mahasiswa. Perlawanan terhadap kekuasaan yang kehilangan kompas sosialnya. Perlawanan terhadap wajah-wajah penuh janji, tapi kosong isi. Dan perlawanan terhadap politik yang hanya hidup saat pemilu, lalu mati ketika rakyat membutuhkan keberpihakan. (Redaksi/KBO Babel)

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close
close