Breaking News

Bermodus Jurnalisme, Pimpinan Media SuratKabarTerkini.Com Diduga Peras Napi Lewat Ancaman dan Teror Digital



(Pangkalpinang) — Profesi wartawan kembali tercoreng. Seorang pimpinan media lokal bernama Sukarto alias Totok diduga menyalahgunakan kekuasaan jurnalistik untuk melakukan pemerasan terhadap seorang narapidana yang sedang menjalani masa hukuman di salah satu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Pangkalpinang. Sabtu (31/5/2025).

Dengan memanfaatkan ancaman pemberitaan, Sukarto menekan korban agar menyerahkan uang sebesar Rp 15 juta. Jika tidak dipenuhi, ia mengancam akan mengumbar informasi pribadi dan menaikkan berita yang berpotensi memperkeruh status hukum korban.

Tak hanya itu, Sukarto bahkan mengklaim bisa memperberat hukuman korban melalui koneksi tertentu—sebuah bentuk intimidasi yang menyesatkan dan melampaui batas.

“Dia kirim pesan WhatsApp, minta uang. Diberi waktu dua hari. Kalau tidak ditransfer, dia ancam akan naikkan berita dan buka aib adik saya ke publik,” ungkap kakak korban kepada wartawan.

Korban yang sudah dalam posisi tertekan di balik jeruji besi, memilih menyerah. Ia mengirim uang sebesar Rp 11,8 juta dalam dua tahap: Rp 1,8 juta pertama, disusul Rp 10 juta ke rekening atas nama Sukarto.

Semua bukti, mulai dari tangkapan layar pesan ancaman hingga slip transfer, kini berada di tangan keluarga korban yang berencana segera melaporkannya ke Polda Bangka Belitung.

Kasus ini menjadi alarm keras: jurnalisme dipakai sebagai senjata pemerasan. Seharusnya menjadi corong kebenaran dan keadilan, media justru dipakai oknumnya sebagai alat tekanan terhadap individu yang tidak berdaya.

Jika benar, tindakan Sukarto tidak hanya melanggar etik jurnalistik, tapi juga masuk kategori pidana berat.

Ada sejumlah pasal yang bisa menjerat pelaku:

Pasal 368 KUHP: Pemerasan dengan ancaman, dengan ancaman pidana hingga 9 tahun.
Pasal 369 KUHP: Pemerasan disertai kekerasan atau ancaman kekerasan.
Pasal 378 KUHP: Penipuan.
Pasal 27 ayat (4) UU ITE: Pemerasan atau pengancaman melalui sistem elektronik.
 
“Jangan kira napi tidak punya hak. Mereka tetap warga negara yang dilindungi hukum,” tegas keluarga korban. 

Di tengah arus digital dan derasnya berita daring, narapidana seperti korban menjadi pihak yang paling rentan terhadap praktik licik oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Mereka yang berada di luar sistem peradilan seolah kebal hukum, sementara napi ditinggalkan tanpa perlindungan.

Hingga berita ini dipublikasikan, Sukarto belum memberikan tanggapan atau klarifikasi. Redaksi masih berupaya mendapatkan hak jawab sebagai bagian dari prinsip cover both sides.

Namun publik kini menunggu: Apakah aparat penegak hukum akan bertindak? Atau praktik pemerasan berlindung di balik label jurnalisme akan terus dibiarkan?

Jika tidak ada tindakan tegas, kasus ini bisa menjadi preseden berbahaya—di mana profesi wartawan disalahgunakan untuk memeras, bukan mengungkap kebenaran. Saatnya membedakan antara jurnalis sejati dan oknum oportunis. (KBO Babel)

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close
close