Pangkalpinang – Tomi Permana, warga Kota Pangkalpinang, resmi menempuh jalur hukum atas unggahan media sosial yang diduga mencemarkan nama baiknya. Didampingi penasihat hukumnya dari Kantor Advokat NAA-RA and Partners, Tomi memenuhi undangan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Kepulauan Bangka Belitung, Senin (26/5), guna memberikan keterangan atas laporannya terhadap Ahmad Wahyudi alias Yuko, seorang jurnalis media online PerkaraNews.com. Senin (26/5/2025).
Yuko dilaporkan karena unggahan Facebook-nya yang menuding Tomi sering meminta "jatah proyek" di Pemerintahan Kota Pangkalpinang dengan mencatut nama Kepala Kejaksaan Negeri Pangkalpinang. Dugaan ini dinilai merugikan nama baik Tomi, baik secara personal maupun profesional.
“Postingan itu sangat merugikan saya. Selain mencemarkan nama baik, beberapa relasi bisnis mulai menjaga jarak. Saya juga merasa sangat risih karena terus ditanya oleh kolega dan sahabat soal tudingan yang tidak berdasar itu,” kata Tomi kepada jejaring media KBO Babel usai menjalani pemeriksaan.
Pemeriksaan oleh penyidik Ditkrimsus berlangsung sejak pukul 13.00 WIB hingga 14.50 WIB. Selama hampir dua jam, Tomi menjawab sekitar 16 pertanyaan seputar keterkaitannya dengan Ahmad Wahyudi dan konteks unggahan di media sosial tersebut.
Tomi menegaskan bahwa dirinya tidak pernah melakukan tindakan sebagaimana dituduhkan Yuko di media sosial. Ia menantang Yuko untuk membuktikan pernyataannya secara hukum.
“Kalau memang dia punya bukti, silakan ajukan. Tapi kalau tidak bisa membuktikan, jangan merasa kebal hukum hanya karena menyandang status wartawan,” tegasnya.
Tindakan pelaporan ini tidak hanya menyangkut persoalan pribadi, tapi juga menyentuh ranah hukum yang diatur secara tegas dalam perundang-undangan di Indonesia.
Menurut Tomi, langkah hukum ini penting untuk memberikan efek jera dan edukasi publik tentang batasan dalam menyampaikan informasi di era digital.
Secara hukum, kasus ini dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah dalam UU Nomor 19 Tahun 2016.
Pasal tersebut mengatur larangan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Ancaman hukuman maksimalnya mencapai 4 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp750 juta.
Selain itu, jika pencatutan nama Kepala Kejaksaan Negeri dilakukan tanpa seizin dan dengan maksud menyudutkan institusi penegak hukum, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap etika profesi jurnalistik.
Dewan Pers melalui Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 mengatur bahwa wartawan wajib menguji informasi, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, dan tidak beritikad buruk.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi para pengguna media sosial dan praktisi jurnalistik bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti bebas dari tanggung jawab hukum.
Peran jurnalis sebagai pilar demokrasi tetap harus dilandasi etika dan fakta yang terverifikasi, bukan asumsi dan tudingan tanpa dasar.
Polda Babel saat ini masih mendalami laporan Tomi, termasuk mengumpulkan bukti digital dan kemungkinan pemanggilan terhadap pihak terlapor. Bila bukti dinilai cukup, proses hukum akan berlanjut ke tahap penyidikan. (KBO Babel)
Social Footer