Oleh: Eddy Supruadi (Pengamat/Birokrat)
Pilkada Ulang Kota Pangkalpinang 2025 bukan sekadar kontestasi lima tahunan, melainkan ajang uji ulang kepercayaan publik terhadap masa lalu, keberanian memilih masa depan, dan kejenuhan terhadap sistem yang berjalan apa adanya. Di tengah tantangan politik lokal, muncullah tiga poros utama: figur lama yang membawa rekam jejak, figur baru dengan visi dan semangat perubahan, dan satu figur independen yang mencoba memecah dominasi politik partai.
Publik Pangkalpinang bukan hanya menanti program pembangunan, tapi juga mencari jawaban: apakah masih bisa percaya pada mereka yang pernah diberi mandat, atau seharusnya berani membuka lembaran baru dengan sosok yang tak punya beban masa lalu?
---
Figur Lama: Masih Kuat di Struktur, Tapi Letih di Persepsi
Nama-nama seperti Maulana Aklil (Molen), Prof. Saparudin (Udin), Sopian, dan Ustaz Dede adalah sosok yang pernah atau masih berada dalam orbit kekuasaan kota. Mereka memiliki keunggulan dalam hal pengalaman birokrasi, relasi dengan partai politik besar, serta jaringan tokoh masyarakat dan pemilih loyal.
Maulana Aklil adalah contoh nyata bagaimana seorang petahana bisa tumbang bukan oleh lawan, tapi oleh “kotak kosong”—ekspresi paling simbolik dari kejenuhan rakyat. Prof. Saparudin dan Sopian membawa nuansa akademik dan kedalaman birokrasi, namun harus menghadapi keraguan publik: “Apa bedanya kali ini?” Ustaz Dede sebagai tokoh religius bisa menyentuh lapisan emosional keagamaan, tapi realitas elektoral menuntut lebih dari sekadar ketokohan.
> Figur lama sedang berhadapan dengan krisis kepercayaan. Mereka tahu cara mengelola kota, tapi belum tentu mampu mengelola harapan baru.
---
Figur Baru: Segar di Imajinasi, Tapi Perlu Mengakar di Lapangan
Tiga nama muncul sebagai penantang baru: Achmad Dedy Karnadi, Rasio Ridho Sani, dan Brigjen dr. Ismi.
Achmad Dedy Karnadi, seorang pengusaha dan teknokrat, tampil dengan pendekatan modern dan jaringan ekonomi kreatif. Rasio Ridho Sani, birokrat nasional dengan rekam jejak di lingkungan hidup, hadir membawa mimpi kota modern dan berkarakter. Sementara Brigjen dr. Ismi datang dari dunia militer medis dengan gagasan besar di sektor kesehatan dan kualitas SDM.
Ketiganya punya kesamaan: narasi kuat, modal intelektual tinggi, dan bersih dari konflik politik lokal. Namun, mereka menghadapi realitas bahwa publik Pangkalpinang adalah masyarakat yang majemuk, keras kepala dalam loyalitas, dan tak mudah percaya pada mereka yang datang dari luar gelanggang lama.
> Figur baru punya mimpi, publik punya trauma. Tugas mereka bukan hanya kampanye, tapi memulihkan rasa percaya.
---
Jalur Independen: Harapan Melawan Sistem
Masuknya pasangan Eka-Radmida sebagai calon independen mengubah dinamika permainan. Di tengah dominasi partai, mereka muncul dari jalur yang paling tidak lazim namun paling jujur: jalur rakyat.
Radmida sebagai mantan Sekretaris Daerah paham betul seluk-beluk birokrasi. Eka, dikenal di komunitas sosial, membawa simpati masyarakat akar rumput. Mereka tidak bergantung pada partai, tetapi pada kepercayaan dan kemauan rakyat mengubah peta politik lokal.
Namun jalur independen bukan tanpa tantangan. Ketiadaan mesin partai, dukungan logistik, dan saksi lapangan bisa menjadi batu sandungan serius. Untuk menang, mereka harus melampaui sekadar simbol, dan menjadi gerakan.
> Jika publik benar-benar muak dengan sistem, jalur independen bisa menjadi revolusi diam-diam.
---
Poros Koalisi: Siapa Pegang Mesin, Siapa Pegang Narasi?
Peta partai juga menentukan arah pilkada ini. Poros besar seperti PDIP, Golkar, Gerindra, dan NasDem punya kekuatan struktur dan logistik. Jika bersatu, mereka bisa menciptakan pasangan unggulan yang sukar ditandingi. Namun jika mereka terpecah—seperti yang kerap terjadi—maka peluang figur baru atau independen terbuka lebar.
Sementara poros koalisi alternatif seperti Demokrat, PKS, PPP, dan PAN bisa menjadi basis moral dan perubahan. Jika mereka mengusung figur seperti Ismi atau Rasio Ridho, peluang menciptakan kejutan elektoral sangat besar.
> Dalam politik lokal, koalisi bukan hanya soal jumlah kursi, tapi soal kepekaan membaca denyut rakyat.
---
Kesimpulan: Siapa Punya Harapan Rakyat?
Pilkada ulang Pangkalpinang 2025 adalah cermin. Apakah kita memilih berdasarkan kenangan, berdasarkan harapan, atau berdasarkan keberanian?
Figur lama menawarkan stabilitas, tapi menyisakan luka lama. Figur baru menjanjikan terobosan, tapi belum tentu bisa mengeksekusi. Jalur independen menjadi suara hati rakyat, tapi butuh kekuatan ekstra untuk bertahan dari gempuran sistem.
Publik Pangkalpinang sedang tidak butuh pemimpin yang sekadar hadir di baliho dan spanduk. Mereka butuh pemimpin yang paham luka mereka, sanggup mendengar, dan berani bekerja nyata tanpa basa-basi.
> Siapa pun yang mampu menjembatani antara kenangan dan harapan, dialah yang pantas memimpin kota ini ke arah yang lebih layak dan manusiawi.
Social Footer